K r i s i s K e t e l a d a n


K r i s i s   K e t e l a d a n
Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, MA
Disadari atau tidak, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita saat ini sedang dilanda “krisis keteladanan”, di mana dalam kehidupan keseharian kita masih sering melihat fenomena yang cukup memprihatinkan jika dilihat dari sisi aqidah Islam. Degradasi sikap wara’ dari sebagian orang yang seharusnya menjadi teladan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat kini sudah mulai luntur bahkan mungkin telah hilang.
Padahal Allah SWT telah mengingatkan kita dalam menjalani seluruh aspek kehidupan ini agar kita meneladani kehidupan Rasulullah Saw karena, “Sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah” (QS. Al Ahzaab, 33:21). Dan, Rasulullah Saw telah berpesan kepada kita lewat sabdanya: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah Saw” (HR. Muslim)

Di tengah-tengah kehidupan yang sedang dalam “krisis keteladanan”, kini sudah seharusnya kita mau mencoba kembali membuka sejarah kehidupan para sahabat Rasul yang penuh perjuangan, pengorbanan dan kemuliaan. Salah satu yang layak kita coba buka sejarahnya adalah kisah hidup Abdullah bin Umar. Sahabat yang satu ini, dikenal banyak meriwayatkan hadits, namun beliau tidak akan pernah meriwayatkan hadits sebelum beliau benar-benar yakin bahwa yang akan disampaikannya tidak berkurang atau bertambah sedikit pun walau satu huruf dari teks asli yang disampaikan Rasulullah Saw. Demikianlah kehati-hatian beliau dalam meriwayatkan hadits begitu pula dalam berfatwa.
Dikisahkan suatu ketika seorang laki-laki meminta fatwa kepada beliau terhadap suatu masalah, beliau menjawab: “Saya tidak punya ilmu sedikit pun tentang apa yang kamu tanyakan”. Maka laki-laki tersebut pun pergi, tidak berapa lama setelah yang bersangkutan pergi, Ibnu Umar lalu menepuk tangannya sendiri sambil bergembira dan berkata pada dirinya, “Putra Umar ditanyai sesuatu yang tidak tahu maka ia menjawab “saya tidak tahu jawabannya”. Hal ini hendaknya menjadi perhatian kita semua, bahwa kita harus berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa hukum. Jika “tidak tahu” jawablah “tidak tahu”. Jika memaksakan diri untuk menjawab ternyata jawaban tersebut salah tentu akan menyesatkan banyak orang, padahal pertangungjawabannya sangat berat di akhirat nanti, “Mereka memikul seluruh dosa mereka pada hari kiamat dan dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa pengetahuan. Ingatlah, amat buruk apa yang mereka pikul” (QS. An Nahl, 16:25). Ayat ini mengisyaratkan, bahwa di samping ia berdosa atas kesalahannya sendiri juga ia harus menanggung dosa-dosa orang yang telah disesatkannya akibat fatwa yang salah tersebut.
Dikisahkan pula, Abdullah bin Umar suatu ketika pernah menolak ketika beliau ditawari jabatan strategis oleh Khalifah Utsman ra. menjadi qadli atau hakim sampai Khalifah agak marah karena merasa tidak dihargai sambil mengatakan: “Adakah kamu bermaksud membantah perintahku? Jawab Ibnu Umar: “Tidak! Saya tidak siap memegang jabatan tersebut semata-mata karena saya pernah mendengar dari Rasululah Saw menyatakan bahwa pada diri seorang qodli atau hakim itu hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, qodli yang masuk neraka jahannam karena kajahilannya. Dari sisi Islam hanya dikenal dua hukum, yakni hukum Islam dan Jahiliyyah. Hakim yang menetapkan suatu perkara tidak berdasarkan atau bahkan jelas bertentangan dengan aturan dan hukum Allah adalah hakim yang melandasi hukumnya secara “jahil” tempatnya di neraka. Kedua, qodli yang menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsunya maka ia pun juga dalam neraka.Ketigaqodli yang berijtihad dan ijtihadnya benar, dia tidak berdosa tapi tidak pula berpahala. Khalifah Utsmanmengabulkan keberatan Ibnu Umar setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menceritakan hal itu kepada siapa pun. Karena Khalifah merasa khawatir jika masyarakat mengetahui keberatan Ibnu Umar maka tidak ada seorang pun yang shaleh yang mau ditunjuk sebagai qodli.
Beliau pun dikenal sangat rajin membaca Al Qur’an, dan seperti halnya ayahnya, Umar bin Khatthab yang senantiasa tidak bisa menahan derai air matanya jika sedang membaca atau dibacakan firman-firman Allah. Suatu ketika diriwayatkan seorang sahabat beliau yakni ‘Ubeid bin ‘Umeir membacakan di hadapan beliau firman Allah: “Maka bagaimanakah (keadaan orang kafir kelak) apabila Kami datangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami datangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu? Pada hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka kepada Rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan bumi, dan mereka tidak akan dapat menyembuyikan perkataan terhadap Allah” (QS. An Nisaa’, 4:41-42).Maka menangislah Ibnu Umar sampai basah seluruh janggutnya oleh air matanya.
Dikisahkan pula, suatu ketika beliau berkumpul dengan para sahabatnya lalu beliau membacakan ayat 1-6 QS. Al Muthaffifiin: “Celakalah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila timbangan dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah mereka itu mengira bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, pada hari itu manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam”. Saat membacakan ayat terakhir, “Pada hari itu manusia berdiri di hadapan Tuhan semesta alam”, yang diulang-ulang sambil air matanya terus mengalir, deras bak hujan yang turun sampai akhirnya beliau pun jatuh karena duka dan tangisnya sendiri. Sikap wara’ sahabat Rasul, Abdullah bin Umar ini hendaknya menjadi teladan kita khususnya bagi para penentu kebijakan di negeri ini.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Comments