Indahnya Ukhuwwah Islamiyyah


Indahnya Ukhuwwah Islamiyyah
Oleh: K.H. Athian Ali M. Da’i, MA

“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka turutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), maka kalian bercerai-berai dari jalan-Nya. Demikianlah yang diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa” (QS. Al An’aam, 6:153).

Betapa sangat pahit jika kita rasakan, krisis “multidemensi” yang dihadapi dan dialami bangsa ini belumlah ada tanda-tanda yang menggembirakan untuk menuju ke arah perbaikan. Bahkan bila kita mau jujur, jangankan secara perlahan menuju ke arah perbaikan, tapi sebaliknya malah semakin hari semakin terasa bangsa ini makin terpuruk dalam jurang kenistaan.
Harga diri sebagai sebuah bangsa lambat-laun nyaris sirna. Bahkan, kini negara kita sudah termasuk kelompok negara “terkorup” di dunia. Ironisnya, targedi ini justru menimpa sebuah bangsa yang “mengklaim” dirinya menjadi sebuah bangsa dan negara yang “notabene” dihuni penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Pertanyaannya, kenapa tragedi ini harus terjadi? Jawabnya, ini bisa terjadi karena sangat tidak menutup kemungkinan ummat Islam yang jumlahnya mayoritas di negeri ini perannya sangat terasa “belum” optimal, khususnya dalam membina“Azas Persatuan dan Kesatuan”. Padahal, azas ini merupakan salah satu azas yang sangat ditekankan oleh Islam. Tujuan dari azas ini tiada lain agar ummat yang jumlahnya mayoritas ini tidak lumpuh karena hilangnya kekuatan dan kewibawaan dan tidak terbinanya persatuan dan kesatuan dalam Ukhuwwah Imaaniyyah dan Islamiyyah. Kondisi ini membuat “musuh-musuh Islam tertawa mengejek”.
Ibarat kita tinggal di sebuah rumah di mana tetangga sebelah rumah kita memelihara seekor anjing yang dibiarkan berkeliaran. Setiap pagi, anjing milik tetangga kita itu selalu lewat di depan rumah kita. Atas dasar rasa “jijik” dan “najis” dari liur binatang tersebut kita pun mengambil sebuah batu kerikil dan melemparnya. Lemparan batu kerikil tepat mengenai kepala anjing tersebut. Namun, terkena lemparan kerikil “hanya” membuat anjing tersebut “menggeleng-gelengkan kepalanya” sambil “melirik dan tersenyum sinis”.
Jika setiap pagi kita melakukan hal yang sama, setiap kali anjing tersebut lewat kita lempar lagi dengan sebutir batu kerikil. Dan, anjing tersebut ditakdirkan Allah berusia panjang 15 tahun misalnya, “anjing itu akan terus tersenyum sinis menertawakan kita”, sama sekali tidak membuat anjing itu menjadi takut karena batu kerikil itu sama sekali tidak mengakibatkan rasa takut sedikit pun, maka akan tetap begitu seterusnya. Namun, jika batu kerikil yang selama 15 tahun itu kita kumpulkan dalam sebuah karung, lalu kita lemparkan ke anjing tersebut, maka Insya Allah anjing tersebut tidak akan menggeleng-gelengkan kepala lagi karena sudah mati.
Demikianlah, diakui atau tidak, ternyata kita selama ini “belum” pernah mampu membina persatuan dan kesatuan “bak” batu kerikil dalam sebuah karung tadi. Sebaliknya, kita masih senang terpisah jauh antara batu kerikil yang satu dengan batu kerikil lainnya, hingga akhirnya walaupun jumlah kita mayoritas menjadi lumpuh dan tidak memiliki wibawa. Kita masih senang menjadi “batu kerikil” yang “terpisah-pisah” dalam beberapa kelompok, golongan atau partai. Setiap pemilu, ummat Islam terpecah dalam berbagai kelompok atau partai. Kondisi seperti ini sangat rentan terhadap timbulnya perselisihan karena menyangkut berbagai macam kepentingan. Bahkan, yang memprihatinkan tidak jarang antarkelompok atau partai pun saling menghujat. Ironisnya, kita yang mayoritas malah terkadang mengikuti keinginan kaum minoritas.
Bila kita mau cermati, sebenarnya perselisihan itu dapat menimbulkan kerusakan pada hubungan baik antarsesama yang pada gilirannya akan bisa merusak nama Islam dan ummatnya. Islam sendiri adalah satu-satunya agama yang mengajak ke dalam ikatan persaudaraan yang terwujud dalam persatuan dan solidaritas, saling tolong-menolong dan membantu serta mengecam perpecahan dan perselisihan. Karena perselisihan itu sendiri pada dasarnya akan bisa menyebabkan kegagalan dalam sebuah perjuangan yang pada gilirannya pula dapat mengakibatkan hilangnya kewibawaan dan rasa disegani baik oleh kawan atau lawan.
Padahal, azas persatuan dan kesatuan ini telah ditegaskan melalui seruan-Nya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal” (Al Hujuraat,49:13). Disadari atau tidak, di negeri kita ini saja telah Allah SWT ciptakan berbagai suku, warna kulit, berbagai macam budaya dan berlainan pula status sosialnya. Semua ini bukan untuk kita saling membangga-banggakan diri. Tetapi, kita diciptakan berbeda-beda tiada lain hanya untuk, “Lita’aaraafu”, sekadar memudahkan kita untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
Al Qur’an juga telah menegaskan bahwa kaum muslimin, kendati pun berbeda jenis, warna kulit, bahasa, dan berbeda pula tingkatan status sosialnya adalah tetap satu ummat, yaitu menjadi ummat yang adil dan pilihan yang dijadikan Allah SWT sebagai saksi atas perbuatan manusia (Al Baqarah, 2:143). Menjadi pula ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran serta beriman kepada Allah (Ali Imran, 3:110).
Pertanyaannya, akankah kita mau berupaya menjadi ummat yang terbaik yang salah satunya dengan mau kembali belajar tentang sejarah kehidupan ummat-ummat terdahulu baik yang mengalami kemajuan maupun kemunduran? Allah SWT lewat firman-Nya mengingatkan: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang memiliki akal” (Yusuf,12:111).
Diakui atau tidak, betapa tidak sedikit peran ummat Islam tempo dulu di negeri ini dalam ikut memperjuangkan satu tujuan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka sekaligus menjadi bangsa yang bermatabat dan memiliki harga diri. Sejarah mencatat, betapa kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini bukanlah hadiah dari kaum penjajah dan bukan pula semata-mata anugerah dari Allah SWT yang sepi dari perjuangan dan pengorbanan. Bahkan lembaran sejarah itu sendiri tidak mampu menccatat lagi berapa banyak jiwa para syuhada dan pahlawan yang telah gugur. Berapa banyak darah yang telah ditumpahkan dan betapa tidak terkiranya jeritan, pekikkan dan rintihan penderitaan yang sempat menggema di bumi nusantara ini, karena di benak para pejuang kala itu hanya ada satu tekad, “Merdeka atau Mati”.
Kini, sudah selayaknyalah jika ummat Islam di negeri ini kembali menyamakan tujuan dan merapatkan barisan sebagaimana miniatur kesatuan dan persatuan ummat yang kita wujudkan melalui shalat berjamaah. Di mana kita sama-sama menuju “satu” titik tujuan yang sama yakni ridha Allah dengan barisan yang rapat dan lurus. Mampu dan maukah kita mewujudkan makna dan hakikat shalat berjamaah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Mampu dan maukah kita menentukan “satu” titik tujuan yang sama yakni semata-mata bertujuan untuk mencapai ridha Allah dalam memperjuangkan tegaknya syariat Allah dalam kehidupan?
Kita harus merasa malu dan prihatin, Muhammad Rasulullah Saw, mulai menyusun “Shaaf” (barisan) dari “satu orang menjadi banyak”. Sementara kita, mulai dari banyak tapi satu demi satu mengundurkan diri dari barisan dan dari komitmennya kepada Islam. Karena langsung atau tidak langsung, kita keluarkan dari barisan hanya karena berbeda faham, bukan dalam “Ushul ad Dien” (pokok-pokok dan prinsip dasar Agama). Lalu kita bagi-bagi ummat kedalam kotak-kotak “Hizbussiyaasiyyuun” (Partai Politik) atau “Hizbusy-syar’iyyuun” (Golongan Faham Syari’ah Furu’iyyah).
Kita harus segera berhenti dari lagu lama ini. Sehingga tidak perlu terulang lagi ironi, Muslim memusuhi Muslim, Muslim mencurigai Muslim, Muslim yang satu sibuk memukul Muslim lainnya, atau saling memukul satu sama lain. Sehingga setelah masing-masing babak-belur habis energi dan wibawa, akhirnya tidak berdaya di hadapan lawan yang sesungguhnya.
Mari kita sama-sama renungkan firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak aIndahnyada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (Al An’aam, 6:159).
Mari kita jadikan organisasi atau partai “hanya sebagai alat” untuk mencapai tujuan. Sebagaimana yang diajarkan Allah lewat firman-Nya: “Dan berpeganglah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai” (Ali Imran, 3:103). Hanya bila kita telah berupaya secara optimal dalam melaksanakan hak-hak Allah SWT dalam kehidupan ini, barulah kita bisa berharap akan janji Allah SWT yang lewat firman-Nya: “Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (Muhammad, 47:7).
Wallahu a’lam bish-shawab.

Comments